Hukum
Advokat “Spesialis” Pertambangan, Sujiono
Service excellence adalah kata kunci yang mengubah hidup penjual ayam goreng ini menjadi pengacara sukses skala nasional.
Rizki Hadid, Surabaya
TERIK mentari pelan-pelan melelehkan bulir-bulir keringat di dahi Sujiono. Penjual ayam goreng keliling di bilangan Jalan Cenderawasih, Samarinda, itu mengenyahkan penat di pinggir jalan dengan mengipaskan topi ke badan. “Nasib saya pasti berubah,” ujar lelaki yang akrab disapa Yono itu, dalam hati.
Selepas lulus SMK 1 Kediri, Jawa Timur, Sujiono nekat mengundi nasib ke Samarinda, 2006 lalu. Dia berjualan ayam goreng tepung dengan upah Rp 25 ribu per hari di Samarinda. Berkat ketekunannya, dia bisa memiliki dagangan ayam goreng sendiri yang dia buka di Bengkuring, Sempaja, Samarinda. Awalnya memang sulit. Dalam satu malam hanya dapat sekitar Rp 200 ribu. Namun dia pantang menyerah. Setelah makin dikenal masyarakat sekitar, perlahan tapi pasti, dia mulai mengantongi Rp 800 ribu per malam. Dari jerih payahnya itu, dia bisa kuliah di Universitas 17 Agustus (Untag) Samarinda sejak 2006 lalu.
Berjualan untuk bertahan hidup sambil kuliah adalah nasib yang sering dihadapi perantauan seperti Sujiono. Tak hanya harus pandai membagi waktu, tapi juga bijak membagi porsi uang yang terbatas. Setiap subuh dia beli ayam ke Pasar Segiri Samarinda. Setiba di rumah, ayam dipotong dan dibubuhkan bumbu lalu dimasukkan ke pendingin. Biasanya urusan ini kelar sekitar pukul 07.30 Wita. Waktu ini begitu mepet dengan jadwal kuliah pukul 08.00-11.00 Wita. “Kalau memotong ayam selesai pukul 09.00 Wita, saya pasti telat ke kampus,” ujar dia ditemui di kantornya di Jalan AW Syahranie Samarinda, Sabtu (11/5) lalu.
Lantaran sering telat, Sujiono malah “disayang” dosen-dosennya. Sebab, suatu hari seorang dosen pernah marah padanya. Tapi Sujiono dengan polos menjawab dia berjualan ayam goreng untuk menyambung hidup dan kuliah. Jika tidak menyiapkan ayam setiap pagi, tentu dia tak bisa bertahan hidup apalagi membayar kuliah. “Dosen mulai mengerti kondisi saya. Akibatnya dosen sering tidak memulai kelas sebelum saya datang,” papar lelaki kelahiran 1985 itu.
Namun kehidupan Sujiono begitu membosankan. Ketika teman kampusnya bisa main bilyar dan jalan ke mal selepas kuliah, dia malah pulang ke rumah untuk tidur lalu mempersiapkan dagangan pada pukul 15.00 Wita. “Jujur saja, kehidupan saya sangat lelah dan membosankan kala itu. Belum lagi jika dagangan belum habis, saya terpaksa berjualan sampai pukul 02.00 Wita,” urai dia.
Di antara kepenatan hidup itu, Sujiono rindu kampung halamannya, Kediri. Dia memutuskan liburan sejenak. Di perjalanan pulang pada 2009 lalu itu, dia bertemu seorang perempuan yang kini menjadi istrinya. Tanpa pacaran, Sujiono “nekat” menikah.
Lulus kuliah di Fakultas Hukum Untag pada 2011, dia langsung melanjutkan strata II di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Dia berani melanjutkan kuliah karena bisnis ayam gorengnya sudah meningkat pesat. Sejak 2010 lalu penghasilannya mencapai Rp 13 juta per bulan. Kunci kesuksesannya, kata dia, hanya satu; tidak pernah menolak pesanan sekecil apapun. “Mulai dari pesanan 50 potong sampai ribuan potong kami layani,” tegas Sujiono.
Selain itu, dia tetap menjaga kualitas rasa. Ketika pesaingnya mulai tergerus satu persatu, hanya ayam gorengnya yang masih bertahan hingga sekarang. Padahal dia tidak pernah promosi. Hanya berharap orang yang lewat. “Tapi memang rasa ayam goreng kami beda dari yang lain,” ulas dia.
Jualan tepat waktu merupakan alasan pelanggannya tetap setia sampai sekarang. Kata dia, kalau dagangan siap pukul 15.00 Wita, maka besok juga harus jam segitu, tidak boleh berubah sampai kapanpun.
Kariernya sebagai advokat dimulai ketika kuliah di Brawijaya. Dia pernah magang ke advokat Parulian Sinaga, Riyono Pratikto, Prof Sumarno, dan Jasman Kasto. Meski telah membuka kantor hukum sendiri kala itu, tak langsung membuat kariernya cemerlang. Malah menurut dia lebih mudah jualan ayam goreng daripada merintis karier sebagai advokat muda. “Bagaimana klien besar bisa mempercayakan surat tanahnya pada saya kalau saya masih berkendara pakai motor. Klien menyepelekan, ah paling biaya operasionalmu hanya Rp 5 juta. Padahal saya kerjanya mati-matian,” ungkap dia.
Titik balik kehidupannya terjadi pada 2015 lalu. Untuk pertama kalinya, dia memegang perusahaan tambang batu bara Banda Group. Dari situ kesuksesannya mulai menjalar. Perusahaan-perusahaan besar mulai dari Jakarta, Palembang, hingga Singapura berdatangan untuk bernaung dalam kantor hukumnya. Kesuksesan ini diganjar penghargaan dari Indonesia Achievement Center di Jakarta dengan kategori The Best Lawyer dan Service Excellent. “Saya tidak menyangka dapat penghargaan ini. Awalnya saya mengira ini penipuan. Ternyata saya mendapat rekomendasi dari 20 perusahaan yang bernaung di kantor hukum saya,” tutur Sujiono.
Dia mengaku banyak advokat yang lebih senior darinya. Namun Sujiono tidak kalah taring. Perusahaan besar banyak terpikat padanya lantaran cara dia menjelaskan persoalan hukum yang rumit menjadi mudah dicerna. Saat membela, dia setia sampai mati. Tidak pernah berkhianat atau bermain dua kaki dengan lawan klien. Sujiono mengatakan, klien harus merasa aman dan terlindungi. Inilah service excellence yang dipersembahkan Sujiono kepada klien-kliennya. “Saya pernah sendirian debat melawan empat pengacara lawan. Tapi akhirnya lawan kami itu mundur. Dari situ klien percaya pada kualitas saya,” imbuh Sujiono.
Kasus besar yang sering ditangani adalah pertambangan batu bara. Menurut dia, urusan emas hitam ini unik. Di atas tanah menggunakan hukum agraria, di bawah tanah menggunakan hukum minerba. “Tak semua orang bisa menangani ini. Bahkan perusahaan Jakarta lebih sering mengambil advokat dari Kaltim,” ucap dia.
Dia setuju pendapat pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Bahwa dandanan itu penting. Performa dulu, baru ilmu. Sebab ilmu akan diketahui ketika pengacara itu bicara. Tapi dalam hitungan seperempat detik awal, klien akan “menghakimi” dari tampilan advokat terlebih dahulu. (*)