HMI: Pemerintah Belum Serius Tangani Ilegal Mining
SAMARINDA, Garda.co.id – Kerusakan lingkungan masih menjadi permasalahan besar di Benua Etam. Ini disebabkan pengelolaan sumber daya alam yang tidak transparan. Ditambah lagi banyaknya kasus ilegal mining yang belum tersentuh. Hal tersebut disampaikan Ketua Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kaltim-Kaltara Abdul Muis.
Pernyataan itu dilontarkannya dalam diskusi publik “Sinergitas Peran Pemuda sebagai Pressure Group Mengawal SDA Kaltim, Upaya Membongkar Kejahatan Ilegal Mining” di D’Bagios Cafe, Senin (2/11/2020).
Kegiatan ini digagas Badko HMI Kaltim-Kaltara. Dihadiri PMII, GMNI, IMM, KAMMI, GMKI, PMKRI, LMND, JATAM dan organisasi mahasiswa lainnya.
Muis melanjutkan, permasalahan tersebut seperti dana jaminan reklamasi yang hingga saat ini realisasinya tidak optimal. Ini yang menjadi sorotannya. Padahal berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kata Muis, dana jaminan reklamasi yang sebelumnya dititipkan kepada pemerintah kabupaten/kota itu seharusnya sejak Oktober 2016 sudah harus diserahkan ke Pemprov Kaltim tanpa terkecuali.
Selain masalah tersebut, ada juga kasus ilegal mining. Menurutnya ini sudah menjadi rahasia umum dan penindakannya belum maksimal. “Ketika aparat seakan tutup mata, maka kita sebagai anak muda harus membuka mata,” tegasnya.
Muis menilai, hingga saat ini, pemerintah belum menunjukkan keseriusan menangani ilegal mining. “Satgas yang dibentuk selama ini tidak memberikan sumbangsih atau pengaruh apapun” sambungnya.
Bahkan yang terjadi sekarang, sebut Muis, satgas yang dibentuk bubar di tengah jalan. “Alasan yang dilontarkan pemerintah tidak masuk akal. Mengingat perangkat yang dimiliki pemerintah sudah sangat lengkap hingga sampai ke pedesaan,” pungkasnya.
Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Theresia menyebut, berdasarkan temuan Jatam mengenai ilegal mining, di ada 29 kasus pada akhir 2019 di Kaltim. “Terparah di Kukar,” imbuhnya.
Dia menuturkan, kontrol untuk aktivitas pertambangan ini semakin lemah. Dikarenakan regulasi yang sering berubah. Bermula dari kabupaten/kota menjadi kewenangan provinsi. Terlebih dengan ada UU Cipta Kerja yang mengharuskan kewenangan berada di pusat. Maka proses perizinan akan sangat dipermudah. “Hingga tidak mempedulikan lagi aspek lingkungan, sosial maupun ekonomi yang ditimbulkan,” urai Theresia. (ys)