Meningkat, Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Soraya : Jumlah Kasus Bagai Phenomena Gunung Es
Garda.co.id, Samarinda – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap terjadi, bahkan cenderung meningkat. Untuk mengatasi tindakan kekerasan ini dilakukan dengan 2 cara, yakni preventif dan penanganan.
Demikian disampaikan Norayani Sorayalita, Kepala Dinas Kependudukan, Perempuan dan Perlindungan Anak (DKPPPA) Provinsi Kaltim belum lama ini.
“Kalau tindakan preventif atau pencegahan, khususnya untuk Kabupaten/Kota melakukan edukasi kepada masyarakat, bagaimana bentuk-bentuk kekerasan tersebut,“ jelas Soraya.
Ia mengatakan, untuk pencegahan harus edukasi kepada masyarakat akan bentuk kekerasan seperti apa dan bagaimana penanganannya. Juga memberikan informasi berkaitan dengan media-media apa yang bisa diakses oleh masyarakat, agar ketika mereka hendak melaporkan tahu tempatnya. Karena selama ini mereka tidak tahu, kemana harus melapor.
Demikian juga perlu memberikan informasi terkait dengan kasus-kasus kekerasan yang jadi, agar masyarakat bisa mengantisipasi kalau itu terjadi di daerah mereka.
“Sedangkan untuk penanganannya sendiri, kita optimalisasikan fungsi UPT PPA (Unit Pelaksana Tekhnis Perlindungan Perempuan dan Anak), yang berperan dalam hal penanganan terhadap korban kekerasan baik untuk perempuan maupun anak,“ jelasnya Soraya.
Dalam hal ini pihaknya berharap mendapat dukungan dari Kabupaten/Kota, walau tidak semua Kabupaten/Kota kasusnya tinggi seperti Kota Samarinda yang termasuk tertinggi untuk kasus kekerasan.
“Untuk Samarinda sampai 1 Juli 2022 kemarin sekitar 140an kasus tindak kekerasan, lumayan meningkat,“ ujarnya.
Sampai dengan 1 Juli 2022 untuk wilayak Kaltim sudah 400 lebih lebih kasus yang masuk. Padahal di tahun 2021 hingga Desember itu hanya sekitar 450.
Soraya lalu menjelaskan jika penyebabnya adalah karena faktor ekonomi, karena menurutnya akibat pandemi mempengaruhi semua.
“Juga adanya tingkat kematangan dari orang tua, karena pasangan usia anak itu yang rentan untuk melakukan kekerasan karena mereka secara emosional belum stabil,“ ungkap Soraya.
Kalau sekarang ini, menurut Soraya tindak kekerasan di rumah tangga itu oleh orang-orang sekitarnya.
“Pelaku akan mengintimidasi korban agar tidak melapor. Sehingga dengan demikian bukan berarti Samarinda tertinggi, karena bisa jadi di Kabupaten/Kota yang lain juga tinggi namun kasusnya tidak dilaporkan,” jelas Soraya.
Tindak kekerasan ini, lanjut Soraya, seperti fenomena Gunung Es, di atas nampak sedikit padahal di bawahnya lebih besar jumlah kasusnya.
“Terlebih di Kabupaten sarana untuk melaporkan tidak ada dan tidak tahu cara melapor serta karena efek malu, juga ada intimidasi dari si pelaku terhadap korban,“ tuturnya.
Satu lagi, tambahnya, mungkin penegak hukum juga belum berpihak kepada korban, sehingga kasus ditangani tidak tuntas. Orang enggan untuk melaporkan, karena merasa bahwa dilaporkan juga percuma karena tidak ditindaklanjuti.
“Jadi korban kekerasan seksual dan sebagainya itu yang penting itu penegakan hukumnya, supaya ada efek jera bagi si pelaku. Sehingga kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kaltim ini, masuk dalam kategori rawan.“ tandasnya.
Soraya mengungkapkan angka kekerasan seksual dalam 3 tahun terakhir mengalami fluktuasi. Tahun 2020 lebih 600 kasus, tahun 2021 turun dari ini 663 jadi 450. Semester pertama 1 Juli 2022 sudah lebih 400 kasus.
“Mungkin akan lebih dari tahun 2020, harapan kita mudahan tidak terjadi artinya tidak meningkat lagi.” pungkasnya.(DK/ADV/KominfoKaltim)