Opini

Impian Swasembada di Tengah Tak Berfungsinya Sistem Irigasi

Oleh: Aji Mirni Mawarni

 

Benua Etam memerlukan 456 ribu ton beras setahun. Sekira 300 ribu ton beras adalah produksi lokal. Adapun sisanya, disokong pengadaan Bulog maupun pasokan dari Pulau Jawa, Sulawesi, atau impor.

Produksi padi Kaltim sempat meningkat pesat pada 2017 sebanyak 400.102 ton Gabah Kering Giling (GKG). Namun pada 2018 dan 2019, produksi padi di Kaltim melorot tajam ke angka 262.773 ton GKG (152.059 ton beras), lalu 253.818 ton GKG (146.877 ton beras). (Kaltim Kece, 2020).

Terakhir kali Kaltim swasembada beras pada 1996 dengan produksi gabah kering giling 408 ton. Dan 24 tahun setelahnya, asupan beras Kaltim masih bergantung pada Sulawesi dan Jawa. Dalam kondisi ini, cita-cita mewujudkan swasembada beras harus ditunjang berbagai upaya terpadu dan berkelanjutan.

Biaya pertanian di Kaltim cukup mahal bila dibandingkan dengan Jawa dan Sulawesi karena lahannya mayoritas asam (PH berkisar 3,5 – 4,4), sehingga harus dilakukan proses kapurisasi, terutama lahan eks tambang. Pengembangan lahan pertanian perlu sistem spesifik wilayah dalam perlakuannya, sesuai kondisi masing-masing daerah.

Biaya semakin berlipat karena hingga saat ini, belum tersedia sistem irigasi yang memadai terhadap lahan-lahan pertanian di Kaltim. Para petani masih menggunakan sistem tadah hujan. Saat hujan turun deras, area sawah dilanda banjir. Pada musim kemarau, area sawah kekeringan. Petani hanya dapat melakukan satu kali panen setiap tahun.

Catatan Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, secara tata ruang, Bendungan Telake dan Muara Asa merupakan wilayah pertanian. Namun pada tahun 2018, dilakukan perpanjangan IUP di wilayah tersebut, yang mengakibatkan kegiatan pertanian terhambat.

Padahal dengan pembangunan Bendungan Telake, luas lahan pertanian diperkirakan bisa bertambah sekitar 22.000-25.000 Ha. Diproyeksikan dapat menghasilkan 240.000 ton gabah kering per tahunnya.

BACA JUGA :  Citra Kembali

Khusus petani di wilayah Lempake, selama ini Bendungan Benanga yang seharusnya berfungsi sebagai sistem irigasi pertanian, ternyata tidak dapat berfungsi dengan baik selama lebih bertahun- tahun. Catatan Faperta Unmul, terdapat enam sistem irigasi di Kaltim yang tidak berfungsi.

Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3TAI), yakni pembangunan irigasi kecil di bawah 150 hektar dengan melibatkan langsung perkumpulan petani pemakai air (P3A), sangat diperlukan di Kaltim. Program ini bertujuan menumbuhkan partisipasi petani dalam perbaikan dan peningkatan jaringan irigasi berdasarkan kebutuhan masyarakat.

Tidak tersedianya infrastruktur jalan usaha tani yang baik juga menambah beban biaya operasional para petani, yang berimbas kepada harga jual hasil produksi pertanian. Selain itu, akses jalan menuju lahan pertanian masih banyak yang menggunakan jalan perusahaan.

Temuan lapangan dan testimoni petani, banyak bantuan alat mesin pertanian (alsintan) yang tidak tepat guna. Akibatnya, alsintan yang ada tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Selain itu, bantuan alsintan dari pemerintah daerah sebagian sudah rusak dan perlu diperbarui.

Problem teknis lain, kebutuhan pupuk di Kaltim seharusnya bisa dipenuhi dengan baik, dengan harga terjangkau oleh petani. Mengingat geliat aktivitas BUMN di Kota Bontang. Namun fakta di lapangan, kebutuhan ini tak dipenuhi. Bahkan seringkali pupuk datang terlambat di tangan petani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

60 − = 56

Back to top button