Demo Tanpa Izin Bisa Dipenjara, Demmu : Pasal Kontroversial di RKUHP Harus Dihapus
Garda.co.id, Samarinda – Persoalan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memang menjadi kontroversi dan masih terus berlanjut.
Sederet pasal dalam rancangan undang-undang tersebut dinilai bermasalah dan berpotensi jadi pasal karet. Selain mengenai draft yang terkesan tertutup, salah satu hal yang dipersoalkan yakni tentang demonstrasi di tempat umum.
Merujuk Pasal 256 draf RKUHP, aksi unjuk rasa tanpa pemberitahuan ke pihak berwenang bisa dipidana selama enam bulan.
“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” demikian bunyi pasal tersebut.
Adapun merujuk draf RUU yang sama, pada Pasal 79 pidana denda kategori II sama dengan Rp 10 juta.
Ketentuan mengenai demonstrasi tanpa pemberitahuan ini dinilai rawan mengkriminalisasi peserta aksi unjuk rasa.
Ketua Komisi I DPRD Kaltim Baharuddin Demmu menyebut pada dasarnya penyampaian pendapat itu merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). UU yang dirancang pun sudah sepatutnya merujuk pada aturan di atasnya yakni Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Sebab, telah tertuang dalam Pasal 28E
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat,” bunyi pasal dimaksud.
Karenanya, pada saat menyampaikan pendapat saat aksi unjuk rasa, jangan dikategorikan mengganggu ketertiban umum. Hal ini menurut Demmu harus diseriusi, jangan sampai sedikit-sedikit justru dianggap mengganggu ketertiban umum.
“Duduk-duduk bakar ban dianggap menggangu, langsung penjara. Kan ga boleh begitu,” kecamnya, Jumat (12/8/2022).
Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD Kaltim ini menilai, konteks yang ada justru membuat pemerintah terkesan otoriter. Padahal ketika masyarakat unjuk rasa, pasti terdapat hal-hal yang dianggap salah dan perlu diperbaiki.
“Kalau tidak ingin dikritisi atau didemo, kuncinya transparan, terbuka, pasti akan terkurangi aksi-aksi itu. Karena apalagi yang mau ditanya kalau semua sudah tau,” tukasnya.
Jamannya kini kan telah memaksimalkan teknologi, jadi ketika dalam pembahasan pun bisa dilakukan secara transparan ke publik. Dan juga memberikan ruang untuk memberikan masukan.
“Intinya saya kira pasal-pasal itu tidak perlu ada,” tutup Demmu.(Rf/Adv/DPRDKaltim)