Opini

Pandemi mencekik, ekonomi menjepit, Mahasiswa menjerit

Oleh: Majid

Situasi pandemi virus covid-19 saat ini menimbulkan dampak pada segala sektor kehidupan. Dampak yang paling terasa tentu saja pada ekonomi di mana banyak pekerja yang kesulitan memperoleh pekerjaan dimasa sekarang selain itu jika sudah bekerja sebagian perusahan melakukan pemotongan jam kerja, sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa kita lihat didata badan statistik pemprov kaltim sekitar agustus pada TPT (Tingkat pengangguran terbuka) yang terjadi sebesar 6,87 persen atau sebanyak 124.88 ribu orang, yang berarti meningkat 0,93 persen poin atau meningkat sebanyak 17,92 ribu orang dibandingkan dengan Agustus 2019 sedangkan pada Agustus 2020, sebanyak 488,46 ribu orang (28,86 persen) bekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 35 jam perminggu dan penduduk bekerja dengan jumlah jam kerja 35 jam atau lebih perminggu (termasuk yang sementara tidak bekerja) mencapai 1,20 juta orang (71,14 persen).
Hal itu terus bertambah seiring menganasnya covid-19 di Kalimantan timur yang mengakibatkan 411 ribu orang yang terdampak Covid-19 atau 12,04% terdiri dari pengangguran karena Covid-19 (30,99 ribu orang), BAK karena Covid-19 (14,34 ribu orang), sementara tidak bekerja karena Covid-19 (21,20 ribu orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 (344,85 ribu orang) tentu jika kita melihat data sudah pasti ada mahasiswa/i yang terkena dampaknya.
Lalu, ada beberapa mahasiswa/i yang kurang mampu dan yang lain berasal dari kawasan 3T (terdepan,tertinggal,terluar) yang mana harusnya mendapatkan perhatian khsusus dalam SPP yang ditetapkan disisi lain sebagian besar mahasiswa/i, terutama yang menempuh jenjang S1 masih bergantung pada sokongan dana orangtua atau kerabatnya. Oleh karena nya, saat ini walaupun secara tidak langsung. Pandemi berdampak pula pada mahasiswa, beberapa waktu belakangan media banyak memberitakan unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa di beberapa perguruan tinggi menuntut pembebasan biaya kuliah mereka, atau disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan).
Mahasiswa/i menuntut keadilan dari pihak kampus agar memperhatikan situasi ekonomi keluarga mereka yang menurun sehingga mereka terancam tidak dapat melanjutkan kuliah. Saya mengikuti perkembangan berita mengenai upaya mahasiswa untuk memperjuangkan Pemotongan UKT maupun SPP di berbagai kampus baik regional maupun luar daerah. Mahasiswa/i melakukan bermacam cara untuk bernegosiasi dengan pihak kampus, mulai dari melakukan petisi, mengumpulkan data dan dukungan melalui penyebaran kuesioner, sampai melakukan rapat bersama dengan pihak rektorat Dalam rapat yang dilakukan dengan pihak rektorat, mahasiswa tampil dengan menunjukkan data pendapat responden mahasiswa serta data hasil perhitungan mengenai anggaran kampus serta pengeluaran yang mungkin dapat dihemat pada masa sulit seperti ini ketika diberikan transparansi. Dengan adanya perhitungan serta aturan maupun nurani kemanusiaan, diharapkan pihak rektorat dapat Mempertimbangkan untuk memberikan keringanan pemotongan SPP dari penghematan yang tersisa.
Usaha yang dilakukan oleh mahasiswa perlu di apresiasi, karena hal tersebut menunjukkan cara penyampaian pendapat yang baik karena dilakukan melalui suatu forum resmi dan dilengkapi data-data yang cukup yang menandakan mahasiswa sudah menerapkan prinsip ilmiah di dalam negosiasi. Pihak kampuspun patut diapresiasi karena kooperatif memberikan transparansi anggaran dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk bernegosiasi sungguh sikap responsif yang baik oleh rektorat dalam menanggapi persoalan namun ini terjadi dikampus luar tentunya dan patut disyukuri ditempat saya memperoleh pendidikan juga demikian pihak rektorat sangat responsif sehingga surat audiensi serta mediasi dari lembaga mahasiswa dalam hitungan jam terkadang direspond dengan cepat terbukti dengan pengiriman surat antara tanggal 23 januari dari lembaga mahasiswa hingga saat ini ditanggal 26 januari belum disikapi.
Pada akhirnya, usaha yang dilakukan mahasiswa membuahkan hasil yaitu kampus mengeluarkan surat keputusan mengenai keringanan pembayaran SPP. Jika diperhatikan di media, beberapa universitas juga sudah mengeluarkan keputusan serupa. Hal ini disambut baik oleh beberapa kalangan. Namun masih banyak yang mengkritik, terutama mahasiswa, karena kampus hanya memberikan keringanan pemotongan, bukan pembebasan.
Selain itu, terdapat berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh keringanan tersebut. Pihak kampus dianggap kurang berempati pada kondisi ekonomi keluarga mahasiswa dalam berdemokrasi memungkinkan kita untuk menyampaikan pendapat secara bebas namun bertanggung jawab, sehingga semua pendapat argumentasi harus kita hargai.
Jika melihat dari sudut ekonomi yang terjadi, sangat wajar jika mahasiswa ingin mendapatkan pemotongan biaya kuliah. Hal ini tentu akan meringankan beban keluarga, apalagi yang biaya kuliahnya dibiayai sendiri. Saat pandemi seperti ini, selain kesulitan keuangan, mahasiswa juga kesulitan akses untuk menyelesaikan tugas, penelitiannya, serta memerlukan tambahan biaya ditengah pandemi untuk pulsa dan internet karena harus melakukan itu demi akses pendidikan jika tidak mendapatkan.
Ada argumen mengatakan bahwa pada era 4.0 ini harusnya tidak ada hambatan karena akses teknologi sudah lancar. faktanya, masih banyak mahasiswa yang memerlukan data penelitian, atau membutuhkan informasi, tidak semua orang bisa efektif berkomunikasi melalui telepon ataupun sosial media. akan selalu ada mis komunikasi dan kesulitan akses atau bahkan tidak memperoleh tanggapan dan pengaksesan karena memang belum maksimalnya jaringan yang memadai di sebagian daerah Kalimantan timur. Hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dan membebani mahasiswa ketika sebagian dosen selaku tenaga pendidik juga tidak dapat memaklumi dari pada persoalan ini, sehingga kelulusan dan penyelesaikan semester kuliah mahasiswa/i dapat tertunda disisi lain terkadang bersyukur rasanya karena hal seperti itu masih diperparah dengan pelayanan kampus dalam sosialisasi pembayaran terkadang diberitahukan mendadak dengan rentang waktu yang singkat.
mahasiswa juga harus menyadari bahwa kesulitan yang terjadi bukan semata karena adanya pandemi. Mahasiswa juga perlu mengintropeksi diri masing-masing, apakah selama ini sudah menjalankan dan mengakses kuliah dengan efektif ataukah memang metode pembelajaran yang yang kurang efektif, tidak membuang-buang waktu ataukah memang waktunya dibuang-buang untuk menunggu sebagian tenaga pendidik masuk dijam kelas yang sudah ditentukan, serta berusaha sekuat mungkin mengatasi kebosanan ataukah memang sebagian tenaga pendidik kampus yang sudah bosan dengan mahasiswa karena semua hal harus dikerjakan di rumah dan sebagaian dikampus jika urgen dalam kepentingan serta tidak bisa bertemu dengan orang lain dengan leluasa
Jika hal itu sudah dilakukan, permohonan keringanan dalam pemotongan SPP tentu sangat berdasar dan perlu memperoleh perhatian khusus dari instansi terkait terlebih kampus. serta pemerintah sendiri yang terkadang memberikan sebagian alokasi anggarannya ke kampus-kampus, sangat kurang bijak jika kampus tidak memberikan pemotongan SPP diitengah pandemi seperti ini, dan sangat tidak bijak jika malah kampus memberikan kenaikan tagihan pembayaran mahasiswa tertentu tanpa memberikan keterbukaan lebih lanjut terkait alokasi transparansi anggaran maupun pembayaran, padahal jika diberikan keterbukaan mengenai anggaran kampus tentunya ini akan dapat dimengerti mahasiswa/I.

BACA JUGA :  Refleksi Hari Pahlawan 2022, Karya Adalah Senjata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

17 − = 14

Back to top button