
Covid-19 adalah wabah virus yang berasal dari Wuhan yang telah menyebar sejak Oktober 2019, dan di awal tahun masuk ke Indonesia. Sehingga sempat terjadi pembatasan sosial berskala besar. Termasuk menjadikan proses pendidikan, ekonomi, dan sosial terhambat. Di Kalimantan Timur dari sekira Maret 2020 hingga sekarang masih menerapkan pembelajaran jarak jauh. Dari tingkatan SD hingga ke perguruan tinggi. Ini memang langkah tepat di awal merebaknya pandemi. Akan tetapi untuk sekarang semua kembali beroperasi dari dibolehkannya beribadah di tempat ibadah, dibukanya pasar, aktivitas perkantoran tidak lagi work from home tapi sudah dilakukan work from office. Bahkan ditandai dengan dilanjutkannya pilkada serentak 2020 di Kaltim yang dilaksanakan 9 dari 10 kabupaten/kota di Kalimantan Timur. Tetapi hanya pembelajaran dan perkuliahan yang dilakukan dari rumah atau online. Menurut saya ini berpotensi adanya fenomena putus sekolah. Karena sebagian siswa ada yang fokus ikut membantu orangtua bekerja. Termasuk adanya kemungkinan penambahan kasus kekerasan dalam rumah tangga lantaran frustasi dalam mengajarkan anak-anak dari rumah.
Seluruh aktivitas sudah bisa dilakukan langsung ataupun dibagi menjadi langsung dan online. Namun perlu dilakukan secara tatap muka, karena kita sama-sama tidak mengetahui kapan pandemi ini berakhir, dan tidak efektifnya pembelajaran yang dilakukan secara online. Pemikiran saya ini sejalan dengan yang diusulkan oleh Komisi IV DPRD Kaltim Rusman Yaqub yang disampaikan pada media massa 27 Oktober 2020. Yakni, Rusman mendorong Pemprov Kaltim segera berpikir keras dan mencari solusi untuk diberlakukan kembali pembelajaran tatap muka langsung pada Januari 2021. Komisi IV DPRD Kaltim mengusulkan agar sistem kegiatan belajar mengajar (KBM) tetap dikombinasikan antara pembelajaran jarak jauh dan tatap muka.
“Caranya misalkan dalam satu kelas itu ada 30 siswa. Maka itu dibagi. Contoh, 15 orang mengikuti KBM secara luring dan selebihnya daring. Itu bisa dilakukan bergantian,” ungkap Rusman di salah satu media. Tidak dapat dimungkiri bahwa pembelajaran jarak jauh itu kurang efektif. Rusman juga menyebutkan ada beberapa efek buruk yang dapat memengaruhi siswa. Contohnya adalah menurunkan imun sosial siswa dan cenderung menjadi malas. Sebab, siswa dinilai tak mau tahu dengan lingkungan sosial. Terbiasa dengan pembelajaran daring dan kerap menyentuh alat eletronik.
“Misalnya saat siswa berangkat ke sekolah menggunakan transportasi umum seperti angkot. Maka sopir-sopirnya harus kita bekali pula dengan protokol kesehatan. Mau tidak mau seharusnya dilakukan demi masa depan anak-anak bangsa,” pungkasnya.
Seperti yang diketahui, seluruh pelajar dan mahasiswa sangat merindukan untuk mengeksplor diri di sekolah dan perguruan tinggi masing-masing. Ini terlihat dengan adanya kebijakan new normal. Sehingga tatap muka dapat dilakukan dan perlu ditekankan. Jika menunggu Covid-19 selesai, maka dunia pendidikan akan semakin merosot dan tidak akan peningkatan karena ilmu yang didapat lebih sedikit untuk siswa. (*penulis adalah aktivis HMI Komisariat Syariah IAIN Samarinda)