Achmad Jaya, Musisi Sekaligus Juragan Properti
Muda, beda, dan berbahaya. Dosen IT sekaligus gitaris band metal Crossfire ini menjadi juragan properti di usia muda.
Rizki Hadid, Surabaya
DESING excavator yang meraung di Jalan Juanda Samarinda sejenak membuat Jaya tertegun. Alat berat berkuku baja itu mengorek drainase tepat di depan restoran miliknya. Paket proyek pembangunan Flyover Air Hitam tersebut membuat kendaraan konsumen sulit masuk. Akibatnya, rumah makan yang baru dibuka enam bulan pada awal 2015 itu harus dia tutup.
“Terpaksa saya tutup. Padahal lumayan ramai awalnya,” papar pengusaha bernama lengkap Achmad Jaya Adhi Nugraha itu. Restoran itu merupakan bisnis pertamanya. Dia membuka cabang rumah makan milik ayahnya, Ayam Bakar Prambanan yang cukup tenar di ibu kota Kaltim.
Namun kegagalan itu tak lantas membuatnya menyerah. Memang ada pelajaran yang harus dibayar untuk meraih pengalaman dan mengasah mental bisnis. Pada awal 2016 lalu, Jaya mencoba peruntungan di bisnis properti, setelah sebelumnya pernah bekerja di perusahaan properti. Terjun di bidang jual beli rumah bukan tanpa alasan. Jaya menilai, properti merupakan aset yang bagus dimiliki. Harga cenderung naik tiap tahun. Dia mulai bersama ayahnya yang berlatar belakang teknik sipil. Perumahannya diberi nama Green Pinang. “Kami bagi tugas. Saya mengurus manajemen operasional,” ujar gitaris Crossfire itu.
Dipandu sang ayah yang berpengalaman di dunia bisnis tak menjamin semuanya mulus. Ada fase yang membuatnya down dan hal itu harus cepat dilalui. Menghadapi masa-masa sulit tersebut, Jaya mencari ilmu baru yang relevan dan mempelajari pengalaman pebisnis senior. “Harus belajar terus. Jangan cepat puas,” tegas pengusaha yang juga dosen teknologi informasi (IT) di beberapa kampus di Samarinda itu.
Zaman terus berubah. Cara jualan pun ikut berubah. Jaya mengaku di tahun pertama penjualan propertinya sepi. Setidaknya hanya lima unit terjual. Dia memutar otak bagaimana cara mendongkrak penjualan dengan cepat. Berbagai cara dilakukan. Mulai dari pasang iklan di koran hingga presentasi ke berbagai instansi. Namun hasilnya tak cukup signifikan. Bahkan pemilik lahan pernah menawarkan membeli kembali lahan tersebut jika bisnisnya bangkrut.
Di antara berbagai tekanan yang membelit jidatnya, Jaya iseng mencoba beriklan di internet. Mulai dari menjaring konsumen di media sosial hingga menebar jala bisnis di toko online. Jaya kaget. Hasilnya cukup “ajaib”. Dalam sehari tiga unit rumah laku. “Sabtu pagi calon konsumen mengecek unit, sore langsung beli semua,” ungkap Jaya. Sejak saat itu, penjualannya semakin meningkat dan Jaya makin serius memberdayakan dunia digital.
Selain urusan penjualan, tantangan lain yang sangat krusial bagi pengusaha adalah manajemen sumber daya manusia (SDM). Mengurus karyawan menurut Jaya gampang-gampang susah. Ketika baru memulai bisnis, dia sulit mengenali karakter karyawan. Pernah suatu kali karyawan membodohinya. “Disuruh cek lokasi, ternyata tidak dicek. Disuruh antar berkas, balik ke kantornya sore,” ungkap Jaya yang juga pengusaha barbershop itu.
Untuk mendapatkan tim kerja solid seperti saat ini, dia menghabiskan waktu tiga tahun. Caranya dengan seleksi ketat. Dia memberlakukan kontrak kerja tiga bulan. Jika kinerja tidak ideal, dia ganti dengan orang baru hingga dapat yang cocok.
Sebagai pengusaha, dia mengeluhkan kualitas calon tenaga kerja di Kota Tepian. Mulai dari kejujuran, kapasitas, hingga keseriusan bekerja. Wajar jika angka pengangguran cukup tinggi. Sebab berdasarkan pengalamannya, calon tenaga kerja di Samarinda terlalu manja. “Maunya kerja dekat rumah, gaji besar, dan tidak berkeringat,” urai lelaki kelahiran 16 Februari 1990 itu.
Menurut Jaya, ini karena warga Samarinda dimanjakan dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Bayangkan, kata Jaya, memancing ikan di parit saja bisa dapat ikan haruan. Terbuainya masyarakat terhadap segala kemudahan ini membuat mereka kalah saing dengan pendatang dari berbagai daerah yang hidupnya keras sejak kecil. “Makanya dari kecil kita harus dibiasakan hidup keras, supaya nanti tercipta generasi tenaga kerja yang berkualitas,” kata dia.
Sebagai pebisnis properti, Jaya menilai politik dan bisnis punya hubungan yang kuat. Terutama organisasi yang memayungi pebisnis. Awalnya dia bingung kenapa banyak pengusaha properti ingin menjadi ketua umum Real Estate Indonesia (REI). Setelah ikut rapat kerja nasional di Jakarta, dia baru tahu bahwa setiap ketua organisasi punya relasi dengan menteri.
Apalagi bisnis perumahan tak lepas dari kebijakan pemerintah soal penetapan tata ruang dan wilayah (RTRW). Di mana lokasi yang boleh dibangun, dan di mana ruang hijau yang terlarang disentuh developer. Sayangnya dia pernah melihat ketidakadilan RTRW di Samarinda. Sebuah lokasi yang tercatat sebagai sungai di RTRW malah jadi perumahan. Di situlah dia menilai relevansi bisnis dan politik. (*)